BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan pencerminan kehidupan manusia karena sastra merupakan pengalaman, pengetahuan, perasaan, keinginan, cita-cita, harapan, pemikiran, khayalan, dan angan-angan dari pengarang. Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengarang itu sendiri merupakan insan yang memiliki keinginan atau hasrat untuk mengungkapkan sesuatu melalui karya sastra agar dapat tersampaikan pada pembaca.
Bila dibandingkan dengan puisi, novel merupakan karya sastra yang banyak diminati kaum remaja dan orang dewasa karena bentuk novel dalam menceritakan pahit manisnya kehidupan dikemas dalam bentuk yang lugas dan menarik perhatian.
Novel Tempat Balabuh (Aam Amilia) dan Kembang-Kembang Petingan (Holisoh M.È) adalah novel yang memberikan gambaran-gambaran tentang hitam putihnya kehidupan manusia yang terjerumus ke dalam pekatnya dosa. Gagasan utama kedua novel ini memiliki kesamaan yaitu memaparkan bagaimana sesungguhnya perasaan seorang pekerja seks komersial (PSK) dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini, pengarang banyak menggali sisi jiwa tokoh secara lugas dan mendalam.
Tokoh dalam Kembang-Kembang Petingan adalah Enok atau Tita yang terjerumus dalam kehidupan malam karena pahitnya hidup yang dialami. Kepedihan telah membawa Enok yang asalnya wanita baik-baik, berubah menjadi seorang PSK dengan latar belakang kekecewaan yang dia alami atas perlakuan suaminya yang dengan terang-terangan menghianatinya. Setelah menjadi PSK dia berubah nama menjadi Tita. Enok menyadari bahwa pekerjaannya itu sebuah dosa besar. Dia sebenarnya tidak pernah ridlo ketika melakukan pekerjaannya, tapi demi menghidupi anak, adik serta orang tuanya dia tetap bertahan dengan kepura-puraan pada setiap orang yang akan membeli dirinya, yang lebih menyakitkan lagi ketika dia telah berubah dan menjadi wanita baik-baik, tetap saja pandangan masyarakat menganggap dia hina. Kegundahan dan gejolak hati tokoh cerita digambarkan dengan sangat luwes oleh pengarang sehingga pembaca diajak ikut merasakan kesedihan yang sedang dialami oleh tokoh utama pada novel Kembang-Kembang Petingan tersebut. Penggalian hasrat tokoh secara mendalam cukup menarik untuk dijadikan bahan analisis hasrat, karena didalamnya terdapat banyak unsur hasrat yang dapat mendukung proses penelitian. Hasrat yang dialami tokoh cerita dapat terungkap dari teks yang terkandung dalam novel Kembang-Kembang Petingan :
“Ari ieu potrèt saha Ta?” tanyana bari leungeuna ngaragamang nyokot potrèt anu dipiguraan.
“Anak Tita!” tèmbal tèh heureut.
“Sajodo! Kasèp jeung geulis lebar!” omongna lalaunan
“Naon maksudna lebar? Pedah indungna awèwè bangor? Pèdah kaluar tina beuteung awèwè bangor, na da anak kuring mah duanana lain ladang kahormatan! Anak kuring mah sidik Bapana. Kawin hareupeun panghulu jaba bersih lain hasil tina kacilakaan. Duanana gè dijurukeunana keur kuring jadi awèwè bener. Awèwè nu bakti ka salaki! Awèwè nu getol ibadah! Lain nu jadi runtah! Tapi biwir teu hayang ngabèla diri. Masa bodo kumaha anggapana. Ngabèla diri gè moal dianggap, sabab nu nyaritana kuring nu geus jadi runtah! Mun harita mah kuring awèwè bener dina salah na ogè bakal didèngè baè ku batur tèh. Salah gè bisa ditutupan. Ari awèwè modèl kuring? Nyarita bener gè dianggap akon-akon. Mana leuwih hadè cicing ngabetem tibatan ngumbar ucap.
[ “Ini photo siapa Ta? Dia bertanya sambil mengambil photo yang memakai pigura itu.
“Anak Tita!” jawabku seperlunya.
“Sejodoh, ganteng dan cantik, sayang gumamnya perlahan.
“Apa maksudnya sayang? Karena Ibunya wanita nakal? Karena keluar dari perut wanita nakal? Tapi kedua anakku bukan hasil menjual kehormatan! Anakku jelas siapa ayahnya. Menikah didepan penghulu! Dan bersih bukan hasil ‘kecelakaan’. Keduanya dilahirkan saat aku menjadi wanita baik-baik! Wanita yang berbakti pada suami! Wanita yang rajin beribadah! Bukan yang menjadi sampah! Tapi bibir tidak sanggup membela diri. Terserah bagaimana anggapannya, sebab yang berbicara aku yang sudah menjadi sampah! Kalau dulu saat menjadi wanita baik-baik, kalau pun salah akan didengar orang. Salah juga dapat ditutupi. Kalau wanita seperti aku bicara benar pun akan dianggap bohong. Lebih baik diam daripada mengumbar cerita.]
Kutipan di atas menggambarkan faktor yang mempengaruhi kepribadian, tidak hanya lingkungan tempat dia tinggal sekarang, tetapi masa lalu dari sejak dia kecil sampai akhirnya dikecewakan oleh suaminya. Secara otomatis faktor tersebut telah mengubah pola pikir tokoh utama dalam menghadapi segala masalah yang dia alami. Dari penggalan cerita di atas, jelas jika Enok mempunyai hasrat untuk diakui sebagai orang yang baik, meskipun tidak terang-terangan ia katakan, tapi jauh dari lubuk hatinya hasrat itu terus saja hadir setiap kali ada kejadian yang mengingatkan masa lalunya.
Namun, ketika hasrat untuk menjadi orang yang baik hadir, bersama itu pula ada hasrat lain yang mendorong Enok agar tetap bertahan di dunia tersebut. Keinginan untuk diakui bukan hanya datang kepada setiap orang yang ingin menyadarkan dirinya saja bahkan dalam keluarganya pun, ia sangat menginginkan pengakuan kalau ia sebagai orang yang baik tidak pernah menyia-nyiakan keluarganya.
Pernyataan-pernyataan yang terkandung dalam teks novel Kembang-Kembang Petingan ini diidentifikasikan sangat berpengaruh pada hasrat si tokoh. Dalam hatinya tokoh Enok selalu ingin diakui sebagai orang baik-baik, walaupun sebenarnya ia sadar dengan pekerjaannya. Bersamaan dengan kesadarannya itu dia senantiasa membuang jauh-jauh sisi kepribadian baik dia demi mempertahankan profesinya agar tidak kandas begitu saja. Bertahannya Enok sebagai PSK bukan karena ingin memuaskan nafsunya belaka melainkan demi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang sepenuhnya mengandalkan Enok sebagai tulang punggung keluarga.
Berperannya sebuah hasrat bisa dilihat dengan cara para subjek berusaha keras untuk sepenuhnya mengaktualisasikan kualitas-kualitas yang mereka identifikasikan, sedangkan pengaruhnya sebagai efek dari hasrat bisa dilihat dari kenyataan bahwa identifikasi selalu memberikan motivasi yaitu bahwa mereka selalu menanggapi keinginan untuk menjadi (Want- of- being) (Brachel 1977:33). Seperti halnya Enok yang ingin mengaktulisasikan apa yang dia mampu untuk mendapat kepuasan.
Keinginan untuk menjadi yang muncul dalam diri manusia tidak hanya sampai pada ranah menjadi saja, melainkan terus berkembang dan memunculkan hasrat memiliki yang mempunyai kedudukan yang sama dengan hasrat menjadi. Jika hasrat menjadi memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan identifikasi, maka hasrat memiliki mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain.
Oleh sebab itu, bukan berarti kajian tentang identifikasi yang masuk dalam pembahasan kajian ini akan merupakan gambaran lengkap tentang pemikiran Lacan dalam pokok bahasan hasrat. Menurut Lacan subjek cartesian yang sempurna pada dirinya tinggal kenangan. Ego-cogito yang dibangun di atas pengucilan hasrat terbukti buatan tangan hasrat atas identitas. Hasrat yang muncul akibat kodrat manusia ‘sebagai yang selalu berkekurangan’.
Tokoh novel Kembang-Kembang Petingan dalam mengaktualisasikan hasrat yang dia miliki mengalami pengaruh dari setiap problematika yang dia alami. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk menjadi bahan kajian.
1.2 Pembatasan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan yang telah diungkapkan dalam latar belakang, maka inti permasalahan yang akan penulis jadikan objek bahan kajian berpusat pada problematika hasrat yang berhubungan dengan tokoh utama. Adapun permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah :
1. Bagaimana tataran metaforik dan metonimik mempresentasikan hasrat dalam teks Kembang-Kembang Petingan ?
2. Bagaimana hasrat menjadi dan hasrat memiliki ditunjukan melalui tokoh dalam Kembang-Kembang Petingan ?
3. Bagaimana status subjek dalam mengaktualisasikan hasrat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap novel ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan tataran metaforik dan metonimik yang menandai hasrat dalam teks Kembang-Kembang Petingan
2. Mendeskripsikan hasrat menjadi dan hasrat memiliki ditunjukan melalui tokoh dalam Kembang-Kembang Petingan
3. Mendeskripsikan status subjek yang direpresentasikan dalam mengaktualisasikan hasrat.
1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu cara untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikan data (Winarno 1980:139).
Metode ini tidak semata-mata hanya menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Novel Kembang-Kembang Petingan merupakan novel yang tepat untuk diteliti melalui metode deskriptif. Dengan metode deskriptif, peneliti dapat mendeskripsikan fakta-fakta yang terdapat dalam novel tersebut.
1.5 Metode Kajian
Metode kajian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan psikoanalisis sastra yaitu pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Pendekatan psikoanalisis sastra mencoba mengungkapkan masalah kejiwaan yang dialami tokoh utama dalam novel Kembang-Kembang Petingan yang begitu kompleks meliputi unsur tulisan yang terdapat di dalamnya. Tulisan-tulisan yang terkandung dalam novel tersebut dapat memberikan efek kejiwaan tersendiri bagi si tokoh dan bagi pembaca. Pendekatan yang dimaksud diarahkan pada psikoanalisis Lacanian.
1.6 Kerangka Teori
Dalam bukunya yang berjudul Diskursus dan Perubahan Sosial, Brachel mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana suatu gejala kebudayaan bisa memengaruhi manusia, maka yang menjadi pusat perhatian dalam kritik kebudayaan adalah hasrat, bukanlah pengetahuan, karena pengetahuan sering menjadi faktor penting dalam membentuk motivasi semacam itu, bahkan sebenarnya paling tidak dia selalu ada secara implisit dalam hasrat dan kesenangan. Akan tetapi, pengetahuan tidak bisa menjelaskan posisi subjek yang ada dalam pengetahuan itu karena posisi di dalam pengetahuan merupakan fungsi dari identifikasi hasrat, atau menjadi landasan dari hasrat: ada dan tidak adanya hasrat tersebut.
Dalam novel Kembang-Kembang Petingan hasrat yang dialami tokoh sangat kompleks, setiap tokoh mempunyai keinginan untuk memiliki dan diakui, dalam ketidakberdayaannya mereka mencoba mengaktualisasikan segala kemampuan yang ada demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tafsir kritis dari teori psikoanalisis Jacques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat sang hasrat. Pertama hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua jauh dari dominasi ego-cogito, ia adalah syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri. Ketiga, hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang berkekurangann secara eksistensial.
Kekurangann eksistensial ini memicu dua jenis hasrat. Pertama, adalah hasrat untuk memiliki (identitas). Hasrat ini bekerja pada ranah imajiner dan simbolik. Ranah pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangann primordial yang selalu membayangi sang subjek. Kedua adalah hasrat untuk menjadi. Hasrat ini bekerja pada ranah pengalaman yang real, praideologis dan makna. Ia adalah potensi resistensi yang selalu mengganjal hasrat untuk memiliki dalam menunaikan hajatnnya.
Hasrat adalah gagasan lain yang sukar difahami dan Lacan mengatakan bersifat manusiawi secara unik, sebab keinginan adalah milik bahasa. Bahasa merupakan milik bersama dan bukan milik seorang individu siapa pun. Hasrat seorang individu kerap kali dapat di bangkitkan oleh suatu bentuk khusus yang muncul dari kata-kata seseorang yang potensial yang menjadi penanda hasratnya.
Kita dapat mulai menelusuri konsep hasrat dalam psikoanalisis Lacanian dengan membaca kembali konsep perkembangan ala Freudian. Freud membicarakan tentang tiga tahap perkembangan bayi yaitu tahap oral, tahap anal, tahap phallic, oedipus complek dan castration complek. Sedangkan Lacan menciptakan tiga konsep yaitu need, demand dan desire, ini mempunyai kaitan dengan tiga fase perkembangan yaitu real, imaginary dan ÿÿÿÿÿÿg105ÿÿÿÿngfe1033ÿÿÿÿgnp1ÿÿÿÿÿÿÿÿsiÿÿÿÿ62308ÿÿ498 symbolicÿÿÿÿang1ÿÿ7. Desire atau hasrat, dalam perkembangannya menjadi salah satu kunci dalam kehidupan manusia. Hasrat menjadi penggerak yang tak disadari, manifes dalam tanda yang berasal dari suatu ranah yang terstruktur mirip bahasa, manusia menjadi mediasi munculnya hasrat .
Freud menjelaskan bahwa represi adalah kegagalan untuk menerjemahkan berbagai dorongan instingtif menjadi bentuk atau notasi. Freud berbicara dalam konsep-konsep yang diistilahkan sebagai inscriptions, transcriptions, registrations dan translations. Freud mangklaim bahwa model linguistik ketaksadaran mungkin menolong memecahkan beberapa dilema yang diasosiasikan dengan perhitungan topologis pada alam nirsadar. Lacan yang memiliki respek tinggi pada psikoanalisis Freudian menggabungkan dengan linguistik dan semiotik ala Saussure untuk menjelaskan fungsi ketaksadaran.
Disinilah Lacan memunculkan konsep bahwa nirsadar adalah ranah yang terstruktur layaknya bahasa. Konsep ini berbeda dari Freud yang menganggap bahwa nirsadar berisi hal-hal instingtif. Lacan bahkan melihat bahwa nirsadar hadir bersama bahasa. Lacan melihat bahasa adalah suatu sistem pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya.
Jika ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa, maka menjadi masuk akal untuk mengklaim bahwa linguistik dan semiotik adalah hal penting yang dapat kita gunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan menempatkan sisi ketaksadaran sebagai penanda (signifiers); proses primer ketaksadaran diletakan pada ekspresi dan distorsi dirinya sendiri dalam Freud: condensation dan displacement; sedangkan Lacan menggunakan istilah yang sama dengan roman Jacobson: Metaphor dan Metonimy).
1.7 Sumber Data
Sumber data sebagai bahan objek penelitian ini adalah novel Kembang-Kembang Petingan karya Holisoh M.É, terbitan PT. Kiblat Buku Utama, Oktober 2002.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar