Selasa, 24 Juni 2008

DEIKSIS LOKASIONAL BAHASA SUNDA:

BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah
Berbahasa termasuk ke dalam salah satu aktivitas sosial. Kegiatan berbahasa sama halnya dengan aktivitas sosial lainnya, yaitu dapat baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Dalam berbahasa penutur dan lawan tutur telah sama-sama menyadari akan adanya kaidah-kaidah yang mengatur tindakan dan penggunaan bahasa tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Allan (dalam Wijana, 1996) bahwa setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindak-tindak dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaannya dalam interaksi lingual ini.
Linguistik merupakan pengkajian bahasa secara ilmiah (Lyons, 95:1). Bahasa merupakan lambang-lambang bunyi yang mempunyai makna, serta bahasa sendiri tersusun dari fonem, kata, frase, dan kalimat. Urutan kalimat yang saling berhubungan satu sama lain membentuk suatu makna yang disebut wacana. Verhaar (1984:7) menyatakan adapun yang mempelajari unsur-unsur bahasa tersebut terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Berbicara mengenai makna dalam suatu wacana, bila dikaji dari segi semantik, terdapat makna hal penunjukkan, yaitu menunjukkan hal persona, hal tempat, dan hal waktu terjadinya penuturan, yang oleh para ahli bahasa disebut dengan istilah deiksis atau hal penunjuk. Jika ditinjau dari segi referennya, deiksis terdiri dari deiksis eksofora dan deiksis endofora, yang dinyatakan deiksis eksofora ialah karena acuan atau referennya berada di luar-tuturan, sedangkan deiksis endofora adalah yang memiliki acuan atau referen di dalam-tuturan itu sendiri. Deiksis endofora juga terbagi atas dua bagian, apabila dilihat dari kedudukan referennya, yaitu anafora dan katafora. Mengenai deiksis endofora nanti akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Seperti yang telah dinyatakan di atas, deiksis itu terbagi atas tiga bagian, yaitu deiksis persona (hal penunjukan orang), deiksis ruang atau lokasi (hal penunjukan tempat), dan deiksis temporal (hal penunjukan waktu). Bagian-bagian deiksis tersebut memiliki bidang kajian yang berbeda satu sama yang lain, di antaranya deiksis persona yaitu membicarakan atau membahas mengenai bentuk nomina dan pronominal, deiksis ruang atau lokatif yaitu membicarakan atau membahas mengenai bentuk verba, nomina, dan ajektiva, sedangkan deiksis temporal yang menjadi bahan pembahasan pengkajiannya adalah bentuk adverbia.
Bertolak dari pernyataan di atas, penelitian tentang deiksis perlu dilakukan, karena sepengetahuan penulis, para ahli bahasa belum banyak yang melakukan penelitian tentang hal ini. Ahli bahasa yang pernah meneliti tersebut antara lain adalah Fillmore (1871), Lyons (1971), dan Brecht (1974). Penelitian tentang deiksis yang dijadikan sebagai bahan objek kajian dalam skripsi pernah dilakukan oleh Rusnandar (1986) yang mengkaji tentang deiksis persona bahasa Sunda, dan juga Tahyana (1988) yang mengkaji tentang deiksis temporal atau penunjuk waktu dalam bahasa Sunda. Namun, ada bagian deiksis yang belum diteliti dan dijadikan sebagai bahan objek kajian dalam skripsi yang itu deiksis lokasional atau hal penunjukan tempat. Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk mengkaji dan meneliti tentang deiksis lokasional bahasa Sunda tersebut.
Dalam mengkaji deiksis lokasional tersebut penulis terlebih dahulu perlu mengetahui masalah-masalah yang ada dalam bagian deiksis tersebut, serta akan dijadikan dasar dalam melakukan penelitian tentang deiksis lokasional bahasa Sunda. Untuk mengetahui permasalah yang dibicarakan dalam deiksis lokasional, penulis mengikuti penjelasan Djajasudarma (1993 : 5) yang menjelaskan bahwa yang menjadi permasalah dalam deiksis lokasional tersebut yaitu mengenai hal preposisi dan bagiannya, serta mengenai bentuk pronomina dan pronomina demonstratif. Dengan tidak terlepas memperhatikan arah gerakkan yang ditimbulkan oleh hal preposisi tersebut, perhatikan diagramnya :

STRUKTUR LOKASIONAL

di ka ti dieu dinya ditu
dina kana tina ieu eta itu



tempat asal tempat tujuan
gerakan (TA) gerakan (TT)


1.2 Identifikasi Masalah
Yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Katagori apa saja yang dapat menyatakan deiksis lokasional bahasa Sunda?
2) Bagaimana struktur deiksis lokasional bahasa Sunda ?
3) Peran apakah yang digambarkan deiksis lokasional dalam kalimat bahasa Sunda ?
4) Fungsi apa yang ditempati deiksis lokasional dalam kontek kalimat?
5) Masalah-masalah dalam deiksis lokasiona bahasa Sunda?



1.3 Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan identifikasi masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1) Mendeskripsikan kelas kata pembentuk deiksis lokasional.
2) Mendeskripsikan struktur deiksis lokasional dalam suatu kontek tuturan bahasa Sunda.
3) Mendeskripsikan makna yang terkandung dalam deiksis lokasional bahasa Sunda.
4) Mendeskrifsikan fungsi deiksis lokasional dalam kalimat bahasa Sunda.
5) Mendeskrifsikan permasalahan yang menyangkut deiksis lokasional bahasa Sunda.

1.4 Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eklektik atau penggabungan dari beberapa teori yang berbeda. Teori deiksis yang menjadi landasan dalam penelitian ini antara lain, pertama mengikuti batasan yang dinyatakan oleh Brecht (1974) yang mengandung pengertian yang lebih luas daripada batasan tradisional yang dikemukakan oleh Lyons (1977), Fillmore (1971), Djajasudarma & Idat (1989), dan teori untuk menganalisinya menggunakan teori Kaswanti Purwo (1984).

1.5 Metodologi
1.5.1 Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam pengumpulan data) (Djajasudarma, 1993 : 3). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk mendeskripsi, yaitu membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena kebahasaan yang diteliti (Djajasudarma, 1993).
Teknik penelitian yang dilakukan oleh penulis dibagi atas beberapa langkah, diantaranya sebagai berikut : (1) Studi kepustakaan, yaitu membaca literatur-literatur yang ada kaitannya dengan penyusunan skripsi ini; (2) Penginventarisasian, yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber yang dipilih. Data ini berupa frase, kalimat, atau wacana yang memuat leksem yang diteliti; (3) Pencatatan, yaitu mencatat dan mengelompokkan data yang sudah terkumpul; (4) Pengklasifikasian, yaitu mengklasifikasikan data yang sudah diseleksi menurut bentuk leksem ruang yang diteliti; (5) Penganalisisan, yaitu menganalisis data yang sudah diklasifikasi. Penganalisisan merupakan bab pokok dalam penyusunan skripsi ini; (6) Penyimpulan, yaitu menyimpulkan data yang sudah dianalisis.

1.5.2 Metode dan Teknik Kajian
Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah menggunakan metode padan. Metode kajian padan ini yang menjadi alat penentunya adalah unsur luar bahasa. Salah satu teknik kajian padan yang dipakai dalam teknik kajian ini adalah metode padan referensial dengan alat penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa (memiliki acuan atau referen) (Djajasudarma,1993 :58).
Seperti contoh kalimat berikut ini :
(1) “Baheula dua puluh taun ka tukang, kuring jeung manéhna kungsi babarengan ngabugulung marmot di kandang tukangeun kampus./…/Kuring jeung Sawitri babarengan milih panalitian ternak marmot.” (M.2040/65/8/1)
“Dulu dau puluh tahun ke belakang, saya dengan dia pernah bersama-sama memelihara marmut di kandang belakang kampus./…/Saya dengan Sawitri bersama-sama memilih penelitian ternak marmut.”
Pada data kalimat (2) di atas tedapat klausa di kandang tukangeun kampus ‘di kangdang sebelah belakang kampus’, yang bereferensi pada kontituen di luar-tuturan yaitu gedung kuliah/fakultas peternakan, sehingga ini bersifat eksoforis.

1.6 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari empat buah majalah yang berbahasa Sunda dan terbit pada tahun yang sama, dua novel yang berbahasa Sunda, serta ragam lisan yang merupakan hasil wawancara langsung. Sumber data tersebut antara lain sebagai berikut :
1) Majalah Manglé nomor : 2013, 2023, 2040, 2042 (tahun 2005).
2) Novel Tempat Balabuh karya Aam Amalia (1994).
3) Novel Pangantén karya Deden Abdul Aziz (2003).
Sumber data tersebut diambil berdasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
a) Bahasa tulis “ortografi”, pada umumnya tidak merupakan representasi langsung dari bahasa tutur, dan justru disinilah ada banyak masalah yang pantas diteliti oleh ahli linguistik (Verhaar, 1996 : 7).
b) Bersifat sinkronis, yaitu mempersoalkan bahasa pada masa tertentu atau dalam kurun waktu tertentu dangan tidak membandingkannya dengan periode lain (Verhaar, 1982 :6).

Tidak ada komentar: