DWIMURNI BERAFIKS DALAM BAHASA SUNDA
1. Latar Belakang
Kata ulang merupakan salah satu ciri umum suatu bahasa. Masyarakat Sunda sebagai pembentuk bahasa Sunda cenderung membentuk kata jadiannya, diantaranya pengulangan. Dalam bahasa Sunda, hasil proses morfemis kata ulang disebut kecap rajekan. Sedangkan dalam istilah linguistik kata ulang disebut reduplikasi.
Selain reduplikasi, afiksasi juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukkan kata bahasa Sunda. Dalam suatu bahasa pembubuhan suatu kata dilakukan dengan cara membubuhkan afiks pada bentuk dasarnya. Baik itu diawal, tengah maupun akhir kata. Pembubuhan afiks tersebut dapat menimbulkan makna yang berbeda, bahkan mengubah kelas kata. Seperti pada data berikut ini :
1. Dihiji-hijikeun ‘disatukan-satukan’
2. Motong-motongkeun ‘memotong-motong’
Pada data (1) terdapat kata dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ yang merupakan hasil reduplikasi dwimurni hiji ‘satu’ dengan gabungan prefiks di- + sufiks –keun. Dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ mengalami perpindahan kelas kata yakni dari numeralia menjadi verba dan memiliki makna yang menyatakan adanya aktivitas yang dilakukan berkali-kali atau sering. Hal ini disebut proses derivasional karena terjadi perpindahan kelas kata, sedangkan pada data (2) terdapat kata motong-motongkeun ‘memotong-motong’ yang merupakan hasil reduplikasi dwimurni dengan gabungan prefiks N (nasalisasi)- + sufiks -keun. Motong-motongkeun tidak mengalami perpindahan kelas kata yakni verba yang bermakna aktivitas. Hal ini disebut proses infleksional karena tidak mengalami perubahan kelas kata.
Namun, ada pula reduplikasi dwimurni yang merupakan kata monomorfemis. Dapat dilihat dalam data berikut:
3. Saeutik-saeutik ‘sedikit-sedikit’
Pada data (3) terdapat kata saeutik-saeutik ‘sedikit-sedikit’. Kata saeutik-saeutik
merupakan hasil bentukan dari reduplikasi dwimurni tetapi bukan merupakan gabungan prefiks sa- + eutik, melainkan merupakan bentuk leksikal saeutik dengan kelas kata numeralia dan bermakna ukuran atau takaran. Sa- pada kata saeutik-saeutik merupakan silabe bukan prefiks.
Kata dihiji-hijikeun ‘disatu-satukan’ dan motong-motongkeun ‘memotong-motong’ merupakan salah satu contoh data dari Dwimurni berafiks dalam bahasa Sunda.
Tetapi apakah R dwimurni hiji ‘satu’ dan potong ‘potong’ dapat bergabung dengan afiksasi yang lain? Dan apakah akan mengubah kelas kata? Bagaimana pula maknanya? Sejalan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti kata ulang secara spesifik khususnya dwimurni yang bergabung dengan afiks, baik itu prefiks, infiks, sufiks dan kombinasi afiks, serta menjelaskan tentang proses pembentukkan R dwimurni + afiksasi yang mengalami proses infleksional dan proses derivasional dengan makna yang dihasilkannya.
Masalah reduplikasi dan afiksasi sudah dibahas oleh para ahli bahasa di antaranya Sutawijaya (1981) dalam Sistem Perulangan Bahasa Sunda, Djajasudarma & Abdulwahid (1987) dalam Gramatika Sunda dan Djajasudarma dkk (1994) dalam Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda, tetapi masih bersifat umum. Masalah reduplikasi juga pernah disinggung oleh Kosasih (2002), yang hanya membahas tentang kata ulang dwipurwa, sedangkan Dwimurni berafiks dalam bahasa Sunda secara khusus, sepengetahuan penulis belum ada yang membahas.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Afiks apa saja yang dapat bergabung dengan kata ulang dwimurni dalam bahasa Sunda?
2. Kategori-kategori apa saja yang dapat bergabung dengan dwimurni berafiks dalam bahasa Sunda?
3. Makna gramatikal apa saja yang dihasilkan oleh dwimurni berafiks dalam bahasa Sunda?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan afiks yang dapat bergabung dengan kata ulang dwimurni dalam bahasa Sunda
2. Mendeskripsikan kategori-kategori yang dapat bergabung dengan dwimurni berafiks dalam bahasa Sunda
3. Mendeskripsikan makna gramatikal yang dihasilkan oleh dwimurni berafiks dalam bahasa Sunda
4. Metodologi
4.1 Metode dan Teknik Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu metode yang bertujuan mendeskripsikan, maksudnya membuat gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai data (Djajasudarma; 1993 : 15)
Teknik penelitian yang digunakan adalah pencatatan, dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut : (1) Studi kepustakaan adalah mengumpulkan dan membaca membaca literature-literature yang berhubungan dengan masalah yang diteliti; (2) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data-data dari sumber yang telah ditentukan; (3) Penyeleksian data, yaitu menyeleksi data yang telah terkumpul berdasarkan sifat atau ciri setiap kata; (4) Pengklasifikasian data, yakni mengelompokkan data-data yang telah diseleksi menurut kategorinya, jenis, sifatnya dan memilih makna secara leksikal karena objek penelitian berupa kata; (5) Penganalisisan data, yaitu menganalisis afiksasi kata ulang dwimurni dalam bahasa Sunda; (6) Penyimpulan hasil penelitian, yaitu menyimpulkan seluruh hasil yang diperoleh pada proses penganalisisan.
4.1 Metode Kajian dan Teknik Kajian
Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian distribusional yaitu metode kajian yang menggunakan unsur penentunya dari bahasa itu sendiri. Selain itu data dikaji berdasarkan fungsi dan makna. Teknik kajian yang digunakan dalam penelitian ssini adalah teknik top down yaitu teknik yang menggunakan analisis turun dari bentuk kata jadiannya sampai bentuk kata dasar (operand) dan kajian ini bersifat membedah atau mengkaji unsur sebagai produk (Djajasudarma, 1993 : 61 ).
Berikut ini contoh analisis data dengan menggunakan teknik top down:
tilu operand
tilu – keun stem 1
di – tilu – keun stem 2
di – tilu-tilu - keun kata jadian
Dari data di atas terjadi proses perubahan langsung. Ditilu-tilukeun ‘dijadikan tiga bagian’ terbentuk dari operand tilu ‘tiga’ kemudian mengalami reduplikasi dwimurni dengan ditambah prefiks di- + sufiks -keun . Ditilu-tilukeun ‘dijadikan tiga bagian’ mengalami derivasional karena mengubah kelas kata yang asalnya kelas kata numeralia menjadi verba. Proses pembentukan kata tersebut menghasilkan makna adanya aktivitas yang dilakukan berkali-kali.
5. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori–teori yang dikemukakan para ahli bahasa di antaranya: Sutawijya (1981) mengenai sistem perulangan, Kridalaksana (1992) mengenai afiksasi dan reduplikasi, Djajasudarma (1993) mengenai teori kelas kata, Djajasudarma dkk (1994) mengenai teori afiksasi dan reduplikasi khususnya dwimurni, serta Djajasudarma (1999) mengenai makna.
6. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis mengambil data secara acak dari bahasa lisan dan bahasa tulisan. Pengumpulan data tulasan dilakukan penulis melalui pencatatan dari majalah-majalah berbahasa Sunda seperti: Mangle dan Cupumanik. Pemilihan majalah Mangle dan Cupumanik berdasar pada pertimbangan bahwa majalah tersebut memuat kata-kata yang memenuhi standar pemakaian bahasa Sunda sehari-hari. Selain itu, majalah tersebut masih diterbitkan dan dibaca oleh khalayak ramai, sedangkan data lisan diambil dari percakapan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari penulis. Hal ini dikarenakan penulis merupakan penutur bahasa Sunda asli. Dalam penelitian ini penulis dapat bertindak sebagai informan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar