BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada kesusastraan Sunda, sastra terbagi dalam dua jenis, yakni sastra tulis dan sastra lisan. Sastra lisan merupakan hasil karya yang berbentuk lisan, penyebarannya secara lisan. Sebaliknya, sastra tulis merupakan hasil karya yang berbentuk tulisan. Penyebaran sastra lisan berbeda dengan sastra tulis. Sastra lisan disebarkan dengan cara dilisankan dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Sedangkan sastra tulis diwariskan melalui media cetak sehingga dapat menembus ruang dan waktu.
Cerita pantun merupakan salah satu bagian dari sastra lisan dan merupakan hasil karya asli masyarakat Sunda. Cerita pantun adalah cerita yang diceritakan melalui pagelaran pantun, yaitu penuturan cerita pantun yang diiringi kecapi dalam waktu semalam suntuk. Penutur cerita pantun disebut juru pantun. Menurut Ajip Rosidi dalam Ngalanglang Kasusastraan Sunda seorang juru pantun itu harus orang yang tidak dapat melihat (tunanetra), karena dipercaya orang tersebut dapat dengan cepat menguasai ilmunya. Cerita-cerita pantun yang terkenal di daerah Sunda diantaranya Lutung Kasarung, Munding Laya Dikusumah, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Lutung Leutik dan lain-lain. Dalam pelaksanaan cerita pantun biasanya juru pantun mengawalinya dengan pembacaan rajah, yakni rajah pamuka. Hal tersebut dilakukan para juru pantun karena mereka beranggapan bahwa apa-apa yang akan diceritakan dalam pantun itu merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Setelah membacakan rajah pembuka juru pantun berangsur pada mangkat carita atau awal cerita, kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan satu persatu lengkap dengan tokoh utama dalam cerita. Setelah selesai bercerita juru pantun kembali membacakan rajah, yang disebut rajah panutup/pamunah atau rajah penutup. Rajah merupakan permohonan ijin untuk bercerita agar ketika dalam bercerita juru pantun tidak mendapatkan halangan atau agar minta diberikan keselamatan (Yus Rusyana, 1981).
Cerita pantun Lutung Kasarung menurut masyarakat pendukungnya merupakan cerita pantun yang sakral karena dalam mementaskan ceritanya tidak dapat dilakukan pada sembarang waktu serta harus memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam ritual penceritaan. Cerita pantun Lutung Kasarung juga merupakan cerita yang populer dan banyak ditransformasikan, diantaranya pada karya Sayudi dan R. Hidayat Suryalaga dengan karyanya wawacan Lutung Kasarung. Keunikan dalam cerita pantun tentunya tidak terlepas dari pengaruh unsur struktur dan isi ceritanya. Kedua unsur itu membentuk satu kesatuan cerita yang utuh sehingga membentuk satu kesatuan cerita dalam penyajiannya. Unsur struktur, tentunya berbeda-beda antara cerita yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itulah, struktur cerita itu perlu dipahami dan dikaji. Salah satu rujukan yang dapat diterapkan dalam mengkaji cerita pantun adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Propp terhadap seratus karya sastra di Rusia.
Penelitian terhadap seratus karya sastra Rusia yang dilakukan oleh Propp menunjukan bahwa cerita rakyat memiliki paling banyak 31 fungsi, tetapi tidak semua fungsi ini akan ditemukan pada suatu cerita rakyat. Fungsi-fungsi tersebut didistribusikan ke dalam 7 lingkungan tindakan yang masing-masing bisa mencakup beberapa fungsi.
Cerita pantun merupakan salah satu dari sekian banyak cerita rakyat yang dikenal di masyarakat Sunda. Jika dianalisis berdasarkan teori yang dikemukakan Propp mengenai fungsi-fungsi yang terdapat dalam suatu cerita rakyat, maka dalam cerita pantun berpeluang ditemukannya sejumlah fungsi sebagaimana yang dikemukakan Propp. Berdasarkan hal tersebut cerita pantun Lutung Kasarung menarik untuk diteliti, salah satu diantaranya melalui penelusuran persamaan dan perbedaan antara cerita pantun Lutung Kasarung yang dipantunkan oleh Ki Sadjin (selanjutnya disingkat CPLK Ki Sadjin) dengan cerita pantun Lutung Kasarung karya Sayudi (selanjutnya disingkat CPLK Sayudi) dengan menggunakan pendekatan struktur naratif yang dikemukakan oleh Propp.
Secara selintas terdapat persamaan dan perbedaan pada kedua teks cerita pantun tersebut. Dilihat dari segi praktis aktivitas, interteks terjadi melaui dua cara, yaitu: a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah dibaca sebelumnya. Sehingga tidak ada teks yang mandiri, tidak ada orisinalitas dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak ada wacana yang pertama dan terakhir, setiap wacana merayakan kelahirannya (Nyoman Kutha; 174-176; 2007).
Jika dilihat berdasarkan interteks, maka akan terdapat hypogram. Menurut Riffatere, karya sastra yang secara metodologis dibayangkan sebagai sumber interteks adalah hyfogram. Khazanah kebudayaan daerah Indonesia merupakan hyfogram yang sangat kaya dalam rangka penelitian interteks. Adanya hyfogram pada suatu teks, maka akan melahirkan teks turunan atau pentransformasian. Namun, penelitian ini tidak menganalisis tentang hyfogram ataupun bentuk pentransformasian diantara kedua cerita, tetapi penelitian ini menitikberatkan pada penelusuran persamaan dan perbedaan diantara kedua cerita.
Pada dasarnya adanya persamaan itu hanya dapat diterangkan dengan dua kemungkinan, yakni: (1) monogenesis, suatu penemuan yang diikuti proses difusi (diffusion) atau penyebarannya, (2) sebagai akibat poligenesis, yang disebabkan oleh penemuan-penemuan yang tersendiri (independent invention) atau sejajar (parallel invention) dari motif-motif cerita yang sama, ditempat-tempat yang berlainan serta dalam masa yang berlainan maupun bersamaan (Danandjaya). Sebaliknya, adanya perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa, diceritakan oleh narator, bukan pengarang (Nyoman Kutha, 2007).
Merujuk pada kedua teks cerita, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Propp, dengan menelusuri persamaan dan perbedaan yang terdapat pada kedua cerita berdasarkan fungsi-fungsi cerita di dalamnya. Meskipun kedua cerita memiliki judul yang sama, tapi tidak berarti memiliki deskripsi cerita yang sama, seperti halnya pada CPLK Ki Sadjin dengan CPLK Sayudi yang memiliki persamaan dan perbedaan. Dengan menggunakan teori Propp tentang fungsi cerita, maka dapat diketahui fungsi-fungsi cerita mana saja yang muncul pada masing-masing cerita. Seperti apa persamaan dan perbedaan yang muncul pada kedua cerita. Selanjutnya memaknai persamaan dan perbedaan struktur naratif pada kedua cerita. Hal-hal tersebut bertujuan membuktikan fungsi-fungsi yang diungkapkan Propp dalam CPLK Ki Sadjin dengan CPLK Sayudi dengan menggunakan pendekatan struktur naratif.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
Fungsi-fungsi cerita mana saja yang terdapat kedua cerita pantun yang dibandingkan?
Bagaimana bentuk persamaan dan perbedaan kedua cerita pantun yang dibandingkan?
Bagaimana pemaknaan dari persamaan dan perbedaan struktur naratif pada kedua cerita pantun yang dibandingkan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan sebagai berikut:
Mendeskripsikan fungsi-fungsi cerita pada kedua cerita pantun yang dibandingkan.
Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan kedua cerita pantun yang dibandingkan.
Mendeskripsikan pemaknaan dari persamaan dan perbedaan struktur naratif pada kedua cerita pantun yang dibandingkan.
1.4 Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Vladimir Propp yaitu teori yang menitikberatkan pada fungsi (function) dan peran (action) yang mengandung motif naratif. Fungsi adalah tindakan seorang tokoh yang merupakan penggerak cerita sehingga memiliki keterkaitan antara yang satu dengan lainnya. Sedangkan peran merupakan penggerak dari fungsi tersebut. Fungsi dan peran adalah unsur yang tetap. Sedangkan unsur yang berubah adalah nama pelaku (dramatis personae).
Berdasarkan penelitiannya terhadap seratus dongeng di Rusia, Propp menyatakan bahwa dalam sebuah dongeng maksimal ada 31 fungsi. Setelah menyimpulkan hasil penelitiannya, Propp menyebutkan satu persatu urutan fungsi pelaku dengan keteraturan arah naratifnya.
1.5 Metodologi
1.5.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan data kepustakaan. Metode deskriptif adalah cara untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikan data (Winarno, dalam Ampera, 2002). Metode deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan secara sistematis data-data faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang terdapat pada objek kajian.
Titik tolak pengamatan berdasarkan interpretasi peneliti setelah menganalisis sumber data yang akan diteliti. Dengan cara ini peneliti mendapatkan gambaran yang diinterpretasikan dari sumber data.
1.5.2 Metode Kajian
Kajian terhadap data pada penelitian ini memanfaatkan teori Vladimir Propp, yaitu teori yang menganalisis suatu objek dengan menitikberatkan pada fungsi dan peran. Fungsi dan peran merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan.
Propp dalam penelitiannya terhadap seratus dongeng Rusia, menyimpulkan bahwa dalam dongeng paling banyak terdapat 31 fungsi. Akan tetapi tidak selalu setiap dongeng memiliki fungsi-fungsi tersebut, hanya sebagian dari fungsi-fungsi itu. Kemudian dari 31 fungsi cecita, Propp mendistribusikannya ke dalam tujuh lingkungan tindakan. Berdasarkan teori di atas, penulis akan mencoba menganalisis, dengan membandingkan persamaan dan perbedaan antara CPLK Ki Sadjin dan CPLK Sayudi sejalan dengan tujuan penelitian.
Metode kajian ini bertumpu pada sastra bandingan yang memiliki empat asas pokok pembanding, yaitu: (1) generik teks; (2) genetik teks; (3) tematik teks; (4) kesejajaran teks (Clements dalam Trisman, 2003). Atas dasar empat asas pokok pembanding inilah makana dalam pengkajian menggunakan teori struktur naratif untuk menelusuri persamaan dan perbedaan struktur cerita.
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis penelitian ini yaitu dengan megurutkan fungsi-fungsi cerita pada kedua cerita, kemudian mencari persamaan dan perbedaan dari kedua cerita, selanjutnya memaknai persamaan dan perbedaan struktur naratif pada kedua cerita pantun tersebut.
1.6 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Cerita Pantun Lutung Kasarung seri 13 dipantunkan oleh Ki Sadjin, Proyek Penelitian Pantun & Foklor Sunda, Bandung 1973
Cerita Pantun Lutung Kasarung karya Sayudi, diterbitkan oleh Pustaka Buana, Bandung 1984
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar